Atasi Krisis Ban OTR Dengan Neraca Komoditi Ban

Neraca Komoditi Ban membandingkan jumlah fleet para pengguna dengan mengagregatkan jumlah produksi yang ditarget.

Ahmad Hidayat, pakar ban dan anggota Dewan Pakar PERTAABI (Kredit foto: EI)

Ban hanya salah satu dari begitu banyak komponen pada alat berat. Tetapi fungsinya sangat vital dan merupakan salah satu faktor biaya terbesar kedua setelah bahan bakar minyak (BBM). Kendaraan-kendaraan yang menggunakan jalan raya maupun non jalan raya (off-the-road/OTR) tidak dapat bergerak jika tanpa ban. Produktivitas kegiatan pertambangan pun akan terganggu jika alat-alat tambang yang mengangkut material ketiadaan ban. Menjamin ketersediaan ban-ban OTR sesuai dengan kebutuhan pasar sangat penting untuk mendorong pertumbuhan industri pertambangan. 

Pemerintah, berdasarkan RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya) tambang batu bara tahun 2024, menargetkan produksi sebanyak 920 juta ton. Jumlah tersebut jauh lebih besar dari target produksi tahun sebelumnya sebanyak 775 juta ton. Sayangnya, target produksi sebesar itu, tidak didukung oleh pasokan ban-ban OTR yang masih dibatasi oleh sistem kuota.

“Kebutuhan ban-ban OTR jelas meningkat tajam seiring dengan RKAB yang semakin besar. Tahun lalu saja kontraktor-kontraktor tambang sudah kesulitan pasokan ban. Jumlah kuota itu tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan ban-ban besar yang semakin tinggi,” kata Ahmad Hidayat, pakar ban dan anggota Dewan Pakar PERTAABI, dalam perbincangan dengan Equipment Indonesia di Jakarta baru-baru ini.

Berbeda dengan ban-ban untuk jalan raya yang persediaannya melimpah, ban-ban OTR memiliki karakteristik unik karena pasarnya sangat tersegmentasi. Konsumennya hanya perusahaan-perusahaan tertentu saja. Juga belum ada pabrikan-pabrikan lokal yang memproduksi ban-ban besar untuk aplikasi OTR. Semuanya masih impor. Itu sebabnya pasokan ban-ban OTR di Indonesia berdasarkan sistem kuota.

Ban off-the-road merek Linglong dari China (Kredit foto: EI)

Namun, Ahmad mengingatkan bahwa sistem kuota berisiko jika hanya berdasarkan historical data dan bukan berdasarkan kebutuhan riil di lapangan. “Krisis ban OTR tidak akan segera teratasi jika pemerintah tidak mengetahui secara persis berapa sebenarnya jumlah kebutuhan ban tahun ini. Kalau RKAB mengalami peningkatan signifikan, maka asumsi kebutuhan ban pun harus semakin tinggi dan tidak bisa disamakan dengan tahun sebelumnya,” ujarnya.  

Baca Juga :  STELLAR Tyre Handler: Cara Mudah Bongkar Pasang Ban Tambang

Ahmad menilai, dalam memberikan kuota impor ban OTR, pemerintah hanya berdasarkan historical data dan bukan berdasarkan kebutuhan sebenarnya di lapangan. Tahun lalu (2023) para importir mendapat jatah impor 2500 ban. Tahun ini (2024) diberikan jatah yang sama lagi. Padahal, di sisi lain, RKAB tambang batu bara sudah berubah. RKAB tambang batu bara pada 2023 sebanyak 775 juta ton, dan 920 juta ton pada 2024.

Kalau pemberian kuota berjalan lancar, apakah kebutuhan ban-ban besar itu akan terpenuhi? “Karena jumlah kuotanya tetap sama, sementara RKAB jauh lebih besar, krisis ban OTR pada tahun ini diperkirakan akan lebih parah lagi,” dia mengingatkan.

Krisis persediaan ban-ban OTR bukan persoalan yang sulit untuk dipecahkan. Untuk mengatasi krisis ban-ban OTR ke depan, Ahmad menawarkan solusi berupa Neraca Komoditi Ban yang membandingkan jumlah fleet para user dengan mengagregatkan jumlah produksi yang ditarget. “Kita perlu mengetahui secara persis berapa banyak fleet yang dimiliki oleh para user atau kontraktor. Kemudian dicari tahu replacement factor untuk masing-masing fleet,” jelasnya.

Dengan RKAB 920 juta ton, dia melanjutkan, berapa besar asumsi stripping ratio setiap site secara rata-rata. Katakanlah stripping ratio 10, 12 atau 15, maka dari 1 ton batu bara dengan stripping ratio 10 berarti harus dibuka 10 ton atau 10 BCM (bank cubic meter) overburden (OB). Kemudian, karena ukurannya ton, dihitung berapa berat jenis batuan atau tanah yang diangkut sehingga dikonversi dari BCM ke ton (ton OB).

Dia mencontohkan HD785 dengan kapasitas 100 ton. Jumlah OB berapa ton dibagi 100 ton, dan dioperasikan 3 shift, maka kita sudah dapat menghitung berapa sebenarnya jumlah ban yang dibutuhkan. Rata-rata penggantian ban 10.000, sementara produksi 6000 jam per tahun – dengan asumsi 20 jam per hari, 25 hari per bulan, dan 12 bulan per tahun.

Baca Juga :  John Deere kembangkan software TimberManager untuk masukkan data dari Waratah H-16 Measuring System

Dengan membuat simulasi seperti itu, kata Ahmad, kita bisa mengetahui berapa kebutuhan ban yang sebenarnya. Hasilnya akan lebih bagus lagi kalau dibantu oleh para user. Berapa jumlah fleet yang mereka miliki, disimulasikan dengan target produksi, sehingga nanti akan me-refine kalkulasi estimasi menjadi lebih akurat lagi. Dari situ pemerintah bisa mengontrol jumlah kebutuhan ban dengan kondisi industri tambang yang dinamis. Dengan demikian, pemberian kuota bukan karena ada kecurigaan akan terjadi kecurangan tetapi benar-benar berdasarkan pengetahuan mengenai kebutuhan ban plus peningkatan produksi.

“Menurut hitungan saya, dengan RKAB 920 juta ton batu bara pada 2024 ini, kebutuhan ban OTR seluruhnya selama setahun sekitar 30 ribuan ban. Kalau 30 ribu ban dibagi 10 importir, maka masing-masing importir mendapat kuota rata-rata 3000 ban. Jadi, besaran kuotanya bisa dinamis disesuaikan dengan jumlah RKAB yang hendak dicapai,” pungkasnya. EI