Lelangon, Produsen Port Crane Dengan TKDN Hingga 50%

Seorang putra terbaik bangsa Indonesia, Putu Gde Wanya, berhasil membangun bisnis peralatan material handling untuk pelabuhan dengan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) hingga 50%.

Dipl.Ing Putu Gde Wanya, pendiri PT Lelangon, spesialis produsen material handling untuk pelabuhan (Foto: EI)

Cuaca panas menyergap Jakarta pada Selasa 30 April 2024 siang. Dalam hawa gerah, tim Majalah Equipment Indonesia menjumpai pendiri PT Lelangon, Dipl.Ing Putu Gde Wanya di Sekretariat Alumni ITB di kompleks Taman Patra Kuningan, Jakarta Selatan. Siang itu, Wanya – sapaannya – tampil dengan gaya anak muda, meski usianya tidak muda lagi. Pakaiannya sederhana. Hanya celana jin biasa, kemeja abu-abu lengan pendek, plus topi merah. Di leher melingkar sebuah kalung, tetapi bukan emas. Jauh dari kesan mewah.

Putu Gde Wanya bercerita mengenai perjuangannya membangun PT Lelangon, sebuah perusahaan yang fokus pada pembuatan peralatan material handling untuk pekerjaan bongkar muat di pelabuhan. Sempat memproduksi crane umum, Lelangon kemudian memilih lebih fokus ke port crane. “Pekerjaan bongkar muat di pelabuhan itu sangat beragam, dari mengangkat container, menangani material-material curah seperti batubara, konsentrat hingga berbagai jenis curah lainnya,” ujarnya dengan senyum tipis.

Ketertarikannya pada industri peralatan penanganan material tidak terjadi secara kebetulan. Wanya adalah seorang insinyur luluasan Jerman Barat (sebelum bergabung dengan Jerman Timur), dan pernah bekerja di perusahaan crane Jerman, baik di Jerman maupun di Indonesia. Dengan bekal pengetahuan dan berbagai pengalaman tersebut ia berani mendirikan perusahaan sendiri yang fokus menggarap peralatan material handling untuk pelabuhan.

Lelangon – awalnya berbadan hukum CV – dididirikan pada tahun 1994, setahun setelah dia resign dari perusahaan crane Jerman. Dalam perjalanan waktu, badan usaha ini berubah dari CV menjadi perseroan terbatas (PT). Nama Lelangon diambil dari nama tempat kelahirannya di jantung kota Denpasar, Bali. Wanya sendiri mengaku tidak tahu persis arti kata lelangon itu. Namun, dia yakin “lelangon” berasal dari kata Jawa Kuno. “Kenapa saya pakai nama itu, karena saya sudah lama meninggalkan tempat kelahiran saya. Biar tidak lupa. Dan, saya sudah minta ijin kepada sesepuh-sesepuh di sana, apa boleh saya pakai nama lelangon. Dan diizinkan. Sekarang sudah menjadi PT Lelangon,” cerita Wanya.

Baca Juga :  Mitsubishi Fuso Luncurkan Model Baru Heavy Duty Super Great

Produk-produk port crane buatan Lelangon merupakan peralatan yang dibuat sesuai dengan pesanan pelanggan. Artinya, jenis dan modelnya tidak standar tetapi disesuaikan dengan kebutuhan klien. Perusahaan ini mengerjakan port crane mulai dari desain, pembuatan, pemasangan hingga servis. Masing-masing pelabuhan memiliki karakter dan kebutuhan yang beragam. Sebab itu, Lelangon tidak membuat ready stock crane seperti produksi mobil, melainkan port crane yang disesuaikan dengan kondisi medan dan aplikasinya. 

“Pelabuhan itu macam-macam. Ada pelabuhan umum dan khusus. Di pelabuhan umum, terdapat standar umum seperti untuk kontainer, dan ada yang standar untuk material curah. Untuk pelabuhan umum seperti ini, kami membuat crane yang namanya multi purpose crane,” kata Wanya. Tentang kondisi pelabuhan yang berbeda-beda, dia mencontohkan, tinggi crane untuk kontainer di pelabuhan umum biasanya 20 feet. Tetapi di pelabuhan khusus seperti Tanjuk Priok di Jakarta Utara dan Pelabuhan Perak di Surabaya, crane untuk mengangkat kontainer mencapai 40 feet.

Double luffing crane buatan PT Lelangon yang baru saja disuplai untuk PT Smelting Indonesia di Gresik Jawa Timur, kapasitas 600TPH. Foto tersebut saat alat itu sedang uji coba di yard PT PAL (Foto: Dok. Lelangon)

Pelabuhan-pelabuhan yang disasar Lelangon, tutur Wanya, bukan pelabuhan-pelabuhan besar. Saat merintis perusahaan ini, Lelangon lebih banyak menangani multi purpose crane, dan tidak langsung fokus ke port crane seperti sekarang. “Yang penting peralatan material handling yang dibuat bisa bongkar muat macam-macam barang,” kenangnya.

Bahkan sebelum menekuni pembuatan port crane, Lelangon berguru dulu pada perusahaan-perusahaan asing yang berpengalaman dengan menjadi semacam kernek. “Kami mulai dengan jasa servis dari yang sederhana sampai yang besar, seperti pemindahan crane antar pelabuhan. Misalnya, pemindahan crane dari pelabuhan Tanjung Priok ke Belawan di Sumatera Utara atau ke mana. Kami sebagai subkonnya,” cerita Wanya. Berbekal kemampuannya menghitung yang didukung oleh peluang yang ada pada 1993-1994 di mana banyak crane pelabuhan masih diimpor, Lelangon akhirnya terjun ke bisnis port crane hingga sekarang ini.

Baca Juga :  Gelar Konstruksi Indonesia 2023, Kementerian PUPR Dorong Percepatan Transformasi Digital dan Inovasi untuk Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan

Pekerjaan bongkar muat di pelabuhan merupakan pekerjaan yang sangat menantang. Dibutuhkan peralatan material handling yang tangguh dan usia pemakaian yang lama. Itu sebabnya Lelangon menggunakan material baja pilihan untuk membuat peralatan penanganan material pelabuhan. Hebatnya, tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) produk-produk Lelangon mencapai 50 persen. Angka tersebut jauh di atas ketentuan pemerintah yang hanya 40 persen. Karena itu, boleh dikata, Lelangon adalah produsen crane pelabuhan dalam negeri dengan TKDN tertinggi.

Material-material baja yang digunakan Lelangon merupakan buatan PT Krakatau Steel atau Gunung Garuda, terutama untuk pembuatan struktur. Namun, untuk material baja tidak 100 persen dibeli dari pabrikan-pabrikan dalam negeri. “Ada jenis-jeni material tertentu yang harus diimpor dari  luar karena tuntutan untuk menggunakan baja yang kuat. Sementara komponen-komponen crane seperti hoist, motor, gear box, dan masih banyak lagi yang lainnya dipasok dari luar. “Dengan kombinasi antara kandungan-kandungan lokal dan impor, setelah diukur Succofindo, rata-rata TKDN pada port crane buatan Lelangon mencapai 50 persen,” ujarnya. 

Wanya mencontohkan port crane buatan Lelangon untuk PT Smelting Indonesia di Gresik, Jawa Timur dengan kandungan TKDN 50 persen. “Terakhir, kami membangun crane untuk PT Smelting Indonesia di Gresik yang local content-nya mencapai 50 persen. Sebelumnya 46 koma sekian persen,” ungkapnya.

Terkait dengan TKDN yang semakin tinggi, ia mengharapkan dukungan dari banyak pihak dalam ekosistem industri crane. Menurutnya, Lelangon tidak bisa memenuhi sendiri seluruh kebutuhannya untuk mengembangkan produk-produk crane. Kami memerlukan pasokan dari banyak vendor dalam ekosistem yang sama. Dia mencontohkan pabrikan-pabrikan mobil yang tidak membuat semuanya sendiri tetapi didukung oleh perusahaan-perusahaan lain dalam dalam ekosistemnya.

Baca Juga :  Rokbak & Euro 2024: Kekuatan, Kerja Tim, dan Kebanggaan Tartan

Sehubungan dengan itu, Wanya mengajak para mahasiswa teknik di seluruh Indonesia, terutama dari ITS atau ITB, untuk mulai memikirkan dan terjun menjadi bagian dari ekosistem bisnis ini, termasuk di sisi support sekali pun. Lelangon, kata dia, sangat terbuka bagi para mahasiswa teknik untuk praktik magang dan belajar di Lelangon. Harapannya, dari situ nanti mereka bisa menjadi penghasil produk yang bisa mendukung usaha Lelangon dalam memproduksi port crane. “Ekosistem ini seperti ini membuat industri di negara maju bertumbuh dan berkembang bagus seperti yang terjadi di Jerman dan Jepang,” ungkapnya.

Putu Gde Wanya saat memberikan studium general di FTMD ITB 1 Maret 2024 (Foto: Dok. Pribadi)
Putu Gde Wanya saat memberikan studium general di FTMD ITB 1 Maret 2024 (Foto: Dok. Pribadi)

PT Lelangon sudah berusia 31 tahun dan sudah menjadi perusahaan nasional yang bergerak di bidang desain, manufaktur, dan servis material handling untuk pelabuhan. Saat ini, perusahaan tersebut didukung oleh 40 insinyur berkualitas yang mampu menghasilkan peralatan penanganan material pelabuhan yang tangguh dan efisien.

Saat ini Putu Gde Wanya mengakui sudah tidak aktif lagi di PT Lelangon, tetapi semangatnya tetap membara. Bahkan namanya sudah tidak terdaftar lagi di akte perusahaan karena semua urusan bisnis sudah diserahkan kepada putranya, Putu Panji Wirat, sebagai Head of Director saat ini. Hanya saja dia masih harus tetap men-support putranya itu karena masih butuh belajar lebih banyak lagi. Sang ayah pun sekarang lebih banyak tinggal di kampungnya di Bali, hidup dengan tenang di gunung. Sesekali dia keliling kampus berbagi ilmu dengan para mahasiswa dan dosen tentang ekosistem bisnis crane ini. Sisanya, dia terus menjaga kesehatan dengan tidak makan nasi, sambil memperbanyak olahraga. Dengan gaya hidup itu Putu Gde Wanya terlihat tetap bugar, sebugar PT Lelangon yang makin perkasa di sektor port crane. EI